Faktayogyakarta.id, NASIONAL – Pengamat politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, menilai keputusan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk mengalihkan pengelolaan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara (Sumut) sangat berisiko dan dapat memicu polemik jangka panjang. Ia menilai keputusan ini menunjukkan kurangnya kepekaan terhadap sejarah dan potensi konflik sosial.
“Keputusan ini tentu saja kontroversial. Saya mengamati perjanjian Helsinki pascatsunami dan operasi militer di Aceh. Kesepakatan antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) seharusnya jadi rujukan dalam menjaga perdamaian,” ujar Selamat Ginting dalam kanal YouTube pribadinya, Minggu (15/6/2025).
Menurutnya, persoalan batas wilayah Aceh sebenarnya sudah dibahas sejak 1992 dalam pertemuan antara dua provinsi. Bahkan, Universitas Leiden di Belanda disebut sudah mengakui bahwa keempat pulau tersebut—Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—merupakan bagian dari Aceh.
Selamat menilai keputusan Mendagri bisa memicu sentimen etnonasionalisme, khususnya dari kelompok diaspora Aceh seperti Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF), yang menjadi anggota tetap Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO).
“Ini bisa menjadi isu anti-Indonesia di luar negeri. Separatisme adalah bahaya laten yang mesti diwaspadai. Jangan sampai warga Aceh marah kepada warga Sumut hanya karena keputusan yang tidak bijak,” tegasnya.
Selamat mendesak agar pemerintah pusat duduk bersama dengan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Sumut untuk menyelesaikan persoalan ini secara damai dan menyeluruh.
“Kalau memang Aceh sanggup mengelola empat pulau tersebut, silakan. Tapi keputusan harus didasari kerelaan bersama, bukan paksaan yang dapat merusak persatuan,” kata dia.
Awal Mula Polemik
Polemik ini dipicu oleh terbitnya SK Kemendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menyebutkan bahwa empat pulau yang selama ini dikelola Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), menolak keputusan tersebut dengan menyatakan bahwa keempat pulau itu adalah bagian dari Aceh sejak dulu.
“Kami punya alasan dan bukti kuat, sejak zaman dahulu kala empat pulau itu milik Aceh,” ujar Mualem, Kamis (12/6/2025).
Sementara itu, Tito Karnavian membela diri. Ia mengatakan keputusan ini telah melewati proses panjang dan melibatkan banyak instansi, seperti Badan Informasi Geospasial, Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL, serta Topografi TNI AD.
“Proses ini sudah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum saya menjabat sebagai Mendagri,” kata Tito, Selasa (10/6/2025) di Jakarta.
Mualem kemudian mengungkap bahwa keempat pulau tersebut mengandung cadangan gas alam yang besar, sebanding dengan blok Andaman yang menyimpan sekitar 6 triliun kaki kubik (TcF) gas.
“Kenapa sekarang ramai rebutan? Karena kandungan gasnya besar, sama seperti Andaman,” ujarnya.
Ia juga menyindir alasan Kemendagri yang menggunakan jarak sebagai dasar keputusan. “Kalau begitu, kita ambil saja Andaman karena dekat dengan Aceh. Tapi jaga Pulau Rondo, jangan sampai diambil India,” ucapnya sambil bercanda.
Presiden Prabowo Subianto akhirnya turun tangan menyikapi polemik ini. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, dalam waktu dekat Presiden akan mengambil keputusan terkait masalah ini.
“DPR sudah komunikasi dengan Presiden. Hasilnya, Presiden akan mengambil alih persoalan batas wilayah antara Aceh dan Sumut,” ujar Dasco, Sabtu (14/6/2025).